Matahari di Kolong Comberan

Aku terhanyut dalam lamunan. Sepertinya, aku harus duduk sebentar istirahat. Kasihan kakiku mulai gemetaran. Mungkin, ia lelah menemaniku berjalan. Seharian aku berdagang. Aku berjualan menjajakan air minum di atas kereta api ekonomi jurusan Rangkas Bitung—Jakarta Kota. 

Matahari di Kolong Comberan
credit image: harapanrakyat.com

Biasanya, jika penumpang penuh berjubel, berdesak-desakan, dan sesak, kereta ini lebih mirip kandang kambing daripada sarana transportasi. Bau tak sedap bertebaran di mana-mana. Keringat mengucur karena panas yang begitu terasa, tenggorokan pun kering. Di situlah letak keberuntunganku: dagangan laku keras dan aku bisa mengeruk keuntungan lumayan. 


Akan tetapi, semenjak diadakan Penertiban pedagang di atas kereta lima hari yang lalu, rasanya seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula. Bagaimana tidak pusing aku dibuatnya? Sudah hidup sehari susah, ditambah lagi dengan hal ini.

Aku terpaksa main kucing-kucingan dengan petugas penertiban. Jika kebetulan lolos, aku tetap bisa berjualan dan pulang membawa hasil, meski hanya cukup untuk makan satu hari. Tak apalah daripada tidak sama sekali. Jika sampai tertangkap, daganganku ludes dibuang keluar kereta secara paksa. Uang yang ada pun harus diserahkan sebagai denda karena melanggar peraturan yang telah ditetapkan.

("Matahari di Kolong Comberan" dalam Horison, Desember 2003)

Comments