Alkisah, di Kerajaan Pejanggik ketika Datu (Raja) sedang sakit keras, banyak belian (dukun) Sasak yang telah mencoba menyembuhkannya, namun gagal. Permaisuri serta kerabat istana demikian iba hatinya melihat sang Raja yang sakit dan tak kunjung sembuh setelah berbulan-bulan lamanya. Semua ahli nujum Kerajaan Pejanggik dikerahkan untuk dimintai keterangn tentang penyakit yang menimpa sang Raja. Salah seorang di antaranya menyebutkan bahwa sakit sang Raja disebabkan oleh sapaan mayong pute (terkejut oleh munculnya seekor kijang putih), ketika beliau berburu di Tanjung Ringgit kawasan gawah (hutan) Sekaroh.
Kijang putih menurut kepercayaan masyarakat Sasak, termasuk binatang yang dikeramatkan, langka, dan termasuk binatang piaraan makhluk halus di hutan-hutan belantara. Kijang putih inilah yang konon menjadi raja segala jenis binatang yang ada di hutan belantara. Ketika itu, Tanjung Ringgit masih jarang didatangi manusia kecuali untuk keperluan-keperluan yang bersifat mistik, mencari akar-akar kayu ramuan obat, tangkai keris, dan Jandean (sarung keris) dari batang pohon bebore atau pohon pelet.Gawah Sekaroh memang terkenal sebagai tempat hidup binatang-binatang buruan, terutama kijang dan banteng. Kini, banteng tu telah punah. Demikian pula di kawasan Rinjani. (Sekitar tahun 1950-an, kedua gawah itu masih dihuni banteng)
credit image: phinemo |
Menurut ahli nujum, agar raja cepat sembuh perlu dipanggilkan dukun jin yang bertempat tinggal di Kayangan, Labuhan Lombok. Untuk maksud itu, diutuslah beberapa petugas mencari dukun jin itu yang konon bernama Den Celim. Ia seorang dukun yang berilmu tinggi. Ia beristri dua orang anak kembar raja jin di Kayangan, yang bernama Dewi Suci dan Dewi Suti.
Setelah tiga hari tiga malam, barulah Den Celim ditemukan. Lalu, petugas minta pertolongan kepada Den Celim untuk mengobati penyakit Datu Pejanggik. Ketika itulah, Den Celim berkata bahwa sang Raja harus dimandikan dengan kembang ander nyawe yang hanya tumbuh di Gunung Butak. Sebagai syarat, kembang itu harus diambil sendiri oleh Putra Mahkota yang bernama Raden Wirentake. Ia harus mengadakan upacara tulak bahle (tolak bala) di pancoran Aiq Kalak, agar mendapat restu dari Dewi Anjani karena dewi inilah yang menguasai kembang ander nyawe itu.
Berangkatlah Raden Wirentake bersama beberapa pengiringnya, melalui gawah Sambelie. Dengan susah payah, Raden Wirentake dapat mencapai tebing yang curam itu. Dilihatnya sekuntum bunga yang mekar di sana. Dalam hati ia bertanya, “Inikah bunga yang dimaksud?” Karena tidak ada bunga lain selain bunga itu dan kabut telah merayap dihadapannya, Raden Wirentake cepat-cepat memotong bunga itu dengan menggunakan pisau yang telah disiapkan. Lalu, ia melompat ke belakang menghindari seekor ulah belae (jenis ular piton yang sangat berbisa), yang sejak tadi siap untuk mematuk. Secepat kilat, Wirentake menghunus keris pusaka Pejanggik yang bernama Nangke Berek (nangka busuk), lalu diacungkan ke arah ular itu. Walaupun tidak menyentuh tubuh ular itu, karena kesakitannya, akhirnya ular itu terkulai lemas dan mati.
Tanpa membuang waktu lagi, Raden Wirentake segera mengajak turun para pengiringnya. Sejak tadi, mereka cemas memikirkan nasib putra mahkota yang harus memanjat dan menuruni tebing curam seorang diri. Mereka tidak diperkenankan mendekat, sesuai dengan pesan Den Calim. Kembang itu harus dipetik sendiri oleh putra mahkota.
Dengan bangga mereka segera turun bersama, menuju Aiq Kalak, jangan sampai terlambat. Jika terlambat, mereka takut dikejar awan gelap yang mulai merambat dari segala penjuru gunung ke bawah.
Syahdan..., tersebutlah kisah segala rintangan yang dihadapi Raden Wirentake untuk menemukan kembang ander nyawe yang digunakan sebagai sareat (tumbal) memandikan ayahnya, dihubungkan dengan parahnya penyakit sang Raja yang hampir mati, Den Calim menamakan kembang itu kembang ander nyawe. Artinya, “kembang yang didapat dengan mempertaruhkan nyawa antara hidup dan mati” dan dapat pula berarti kembang yang dapat menyembuhkan orang yang dalam keadaan antara hidup dan mati.
Konon, setelah sang Datu Pejanggik dimandikan Den Calim dengan kembang ander nyawe, penyakitnya berangsur-angsur sembuh. Betapa bahagia hati Raden Wirentake. Kemudian, ia merayakan kesembuhan ayahnya dengan mengadakan sentulak bahla (upacara tolak bala) bersama-sama para hulubalang di gawah Sekaroh. Upacara itu dilaksanakan secara besar-besaran di sepanjang Pantai Tanjung Ringgit sampai ke Ujung Ketangge di Kawasan Sekaruh pantai selatan bagian timur Pulau Lombok. Masyarakat yang waktu itu masih menganut agama Budha melaksanakan Nyekar Setanggi, yaitu menabur bunga dan membakar dupa di pantai. Sejak saat itu, menurut cerita, moyang putte menjadi sahabat Raden Wirentake dan tidak pernah lagi mengganggu manusia. Siapa saja yang akan masuk kawasan Sekaroh harus memberi tahu Raden Wirentake untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Kini, yang tinggal hanya cerita saja, karena hutan itu telah gundul. Tidak terlihat sedikit pun bahwa dahulu bekas hutan belantara.
Setelah tiga hari tiga malam, barulah Den Celim ditemukan. Lalu, petugas minta pertolongan kepada Den Celim untuk mengobati penyakit Datu Pejanggik. Ketika itulah, Den Celim berkata bahwa sang Raja harus dimandikan dengan kembang ander nyawe yang hanya tumbuh di Gunung Butak. Sebagai syarat, kembang itu harus diambil sendiri oleh Putra Mahkota yang bernama Raden Wirentake. Ia harus mengadakan upacara tulak bahle (tolak bala) di pancoran Aiq Kalak, agar mendapat restu dari Dewi Anjani karena dewi inilah yang menguasai kembang ander nyawe itu.
Berangkatlah Raden Wirentake bersama beberapa pengiringnya, melalui gawah Sambelie. Dengan susah payah, Raden Wirentake dapat mencapai tebing yang curam itu. Dilihatnya sekuntum bunga yang mekar di sana. Dalam hati ia bertanya, “Inikah bunga yang dimaksud?” Karena tidak ada bunga lain selain bunga itu dan kabut telah merayap dihadapannya, Raden Wirentake cepat-cepat memotong bunga itu dengan menggunakan pisau yang telah disiapkan. Lalu, ia melompat ke belakang menghindari seekor ulah belae (jenis ular piton yang sangat berbisa), yang sejak tadi siap untuk mematuk. Secepat kilat, Wirentake menghunus keris pusaka Pejanggik yang bernama Nangke Berek (nangka busuk), lalu diacungkan ke arah ular itu. Walaupun tidak menyentuh tubuh ular itu, karena kesakitannya, akhirnya ular itu terkulai lemas dan mati.
“Terima kasih ya Tuhan, Engkau telah menyelamatkan nyawaku dari ular yang sangat berbahaya. Seandainya aku dipatuk ular yang sangat berbahaya itu, aku tak mungkin segera kembali ke Pejanggik. Padahal di sana, orangtuaku sedang terbaring lesu menungguku,” demikian suara hati nurani seorang anak yang ingin berbakti kepada orang tunya.
Tanpa membuang waktu lagi, Raden Wirentake segera mengajak turun para pengiringnya. Sejak tadi, mereka cemas memikirkan nasib putra mahkota yang harus memanjat dan menuruni tebing curam seorang diri. Mereka tidak diperkenankan mendekat, sesuai dengan pesan Den Calim. Kembang itu harus dipetik sendiri oleh putra mahkota.
Dengan bangga mereka segera turun bersama, menuju Aiq Kalak, jangan sampai terlambat. Jika terlambat, mereka takut dikejar awan gelap yang mulai merambat dari segala penjuru gunung ke bawah.
Syahdan..., tersebutlah kisah segala rintangan yang dihadapi Raden Wirentake untuk menemukan kembang ander nyawe yang digunakan sebagai sareat (tumbal) memandikan ayahnya, dihubungkan dengan parahnya penyakit sang Raja yang hampir mati, Den Calim menamakan kembang itu kembang ander nyawe. Artinya, “kembang yang didapat dengan mempertaruhkan nyawa antara hidup dan mati” dan dapat pula berarti kembang yang dapat menyembuhkan orang yang dalam keadaan antara hidup dan mati.
Konon, setelah sang Datu Pejanggik dimandikan Den Calim dengan kembang ander nyawe, penyakitnya berangsur-angsur sembuh. Betapa bahagia hati Raden Wirentake. Kemudian, ia merayakan kesembuhan ayahnya dengan mengadakan sentulak bahla (upacara tolak bala) bersama-sama para hulubalang di gawah Sekaroh. Upacara itu dilaksanakan secara besar-besaran di sepanjang Pantai Tanjung Ringgit sampai ke Ujung Ketangge di Kawasan Sekaruh pantai selatan bagian timur Pulau Lombok. Masyarakat yang waktu itu masih menganut agama Budha melaksanakan Nyekar Setanggi, yaitu menabur bunga dan membakar dupa di pantai. Sejak saat itu, menurut cerita, moyang putte menjadi sahabat Raden Wirentake dan tidak pernah lagi mengganggu manusia. Siapa saja yang akan masuk kawasan Sekaroh harus memberi tahu Raden Wirentake untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Kini, yang tinggal hanya cerita saja, karena hutan itu telah gundul. Tidak terlihat sedikit pun bahwa dahulu bekas hutan belantara.
Comments
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan dan sesuai dengan topik pembahasan. Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.