Dusun di Lembah Sunyi

Langit teduh kebiruan memayungi dusun terpencil di lembah sunyi itu. Siang hari, matahari bersinar cerah menembus celah-celah rimbun dedaunan. Di malam hari, para penghuni dusun yang jarang itu senang terlelap dan terayun dalam mimpi-mimpi tentang buah tomat yang ranum, sarang lebah, dan udara berbau rumput. Demikian sejuk angin yang berembus dari bukit-bukit yang mengelilingi dusun itu hingga di siang hari pun mereka sering bermimpi tentang hal-hal yang indah dan mengasyikkan. 

Dusun di Lembah Sunyi
credit image: wartabromo.com

Akan tetapi, tiba-tiba suatu saat menjelang ashar, dusun mungil itu seolah-oleh berubah menjadi kancah huru-hara. Penduduk menghambur keluar dari pondok-pondok mereka bagai kedelai tumpah dari karung-karung bocor kian kemari.

Apakah gerangan yang telah terjadi? Bencana alamkah? Ada banjir lagi? Serbuan garong-garong? Ada kebakaran barangkali? Mungkin ada pembunuhan? Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka menduga-duga, saling bertanya, berbisik-bisik, atau sekali-sekali menjerit dan berteriak-teriak lantang, bertanya satu sama lain. Tapi, tak seorang pun tahu jawabannya. Baru kemudian ada kabar samar-samar dari beberapa orang yang turun dari surau selepas sembahyang ashar.

“Ada garong, perampok,” kata mereka.

“Eh, bukan, bukan garong, bukan perampok,” bantah mereka pula. “Cuma pencuri, seorang pencuri.”

“Lho, kok ada pencuri di siang bolong begini? Apa yang dicurinya? Ah, pencuri juga bukan,” kata mereka lagi. Lantas apa? Pengutil. Cuma seorang pengutil yang menggait sepasang sandal bekas di serambi surau. Lalu, semua orang pergi berbondong-bondong menuju surau untuk menyaksikan siapa pengutil itu, bagaimana tampangnya, dan bentuk sandal yang telah digaetnya. Dan, di sana kemudian mereka saksikan suatu pemandangan yang mengguncangkan perasaan dan tentu bakal membangkitkan perbantahan di antara mereka.

Segerombolan anak muda sedang kalap menggelegak bagai harimau-harimau haus beramai-ramai menghajar seorang pemuda tanggung berperawakan kurus kerempeng. Mereka melabrak habis-habisan si pengutil yang sial itu, menghantam, menampar, menjotos, dan menendangnya. Si pengutil itu terpelanting kian kemari. Mukanya sembap, gigi-giginya rontok, dan di sekujur badannya darah berbencah-bencah. 

Akan tetapi, anak muda yang makin menggila itu belum juga merasa puas. Mereka terus menghardik disertai tamparan, membentak disusul jotosan diselingi sepak terjang. Pengutil itu sempoyongan terhuyung-huyung ke sana kemari. Dari mulutnya yang berlepotan darah terdengar rintihan beruntun, “Ampun, ampun, ampun..., seolah-olah hanya kata itu saja yang dikenalnya. Rintihan itu lama-lama bertambah lirih berubah menjadi semacam erang yang mengenas dan ia pun lalu terjerembap ke tanah, diam tak berkutik.

“Cukup! Cukup! Cukup!” seru seorang lelaki tua yang cepat-cepat tertatih-tatih menuruni jenjang surau. “Siapa dia dan mengapa sampai terjadi begini?” tanya lelaki itu. “Coba lihat, anak ingusan ini sudah setengah mati. Kalian apakan dia? Kalian telah menghajarnya beramai-ramai, bukan? Adakah kalian mau membunuhnya?”

“la pencuri, eh pengutil, Pak...,” sahut salah seorang anak muda. “Pencuri-pencuri tak boleh dikasihani, bukankah begitu?” Dan mereka yang setuju menyambutnya dengan teriakan-teriakan. Mereka yang tidak setuju cuma menggerutu, “Terlalu, terlalu, terlalu,...”

Apa yang telah dicurinya?” tanya lelaki tua itu.

“Sepasang sandal bekas,” jawab anak muda di sebelahnya.

“Masa sandal bekas mesti ditebus dengan nyawa?”

“Tapi, ia pencuri, Pak. Mungkin sandal itu punya Bapak yang terletak di serambi surau...”

“Aku tak punya sandal, tak pernah pakai sandal,” kata lelaki tua itu jengkel. "Kalian memang keterlaluan, ah. Kalian tahu? Di kota-kota besar banyak garong, perampok, jambret, penodong, pemalsu. Bajingan-bajingan berkeliaran di mana-mana. Apa saja mereka curi, mereka rampoki, sampai-sampai pasar-pasar berlantai lima pun mereka curi...."

“Kami, tak tahu, Pak. Yang kami ketahui itu adalah pencuri. Lalu, kami sergap....”

“Lalu, kalian hakimi sendiri seenaknya...,” sambung laki-laki tua itu. “Mengapa tidak kalian serahkan kepada Kepala Desa?"

“Lho, masak Bapak tidak tahu. Kepala Desa kita kan sudah ditahan lantaran korupsi.”

“Kepada Pak Carik.”

“Pak Carik malah sudah sejak lama minggat melarikan kas desa. Untuk membawanya ke kota juga repot. Tidak mungkin. Jadi, ....”

Mereka lalu terdiam, dan setelah lama terdiam salah seorang di antara mereka lalu menyarankan, “Bagaimana kalau kami serahkan saja pencuri ini kepada Bapak? Bapak kan sesepuh di dusun kita ini? Terserah kepada Bapak mau diapakan pencuri, eh pengutil ini...”

Seketika, laki-laki tua itu tepekur. Kemudian, ujarnya, “Baiklah, sekarang bubarlah kalian, tinggalkan tempat ini." Orang-orang menuruti perintahnya. Mereka bubar meninggalkan tempat itu.

Laki-laki tua itu lalu mengangkat tubuh yang terkapar di tanah, memapahnya ke surau, dan di sana ia membasuh luka-luka di wajah pemuda itu dengan sapu tangannya yang kumal. Setelah pemuda itu sadar dari pingsannya, lelaki tua itu berkata, “Aku tak bisa menghukummu, sebab aku sendiri juga tidak bersih daripada dosa. Biarlah Tuhan yang akan menghukummu. Sekarang, bertobatlah, dan cepat-cepat tinggalkan dusun ini. Bawalah sandalku kalau kau mau. Jangan ulangi perbuatanmu yang bodoh ini. Engkau masih muda. Pergunakan akal sehatmu!”

Lama pemuda tanggung itu menatap laki-laki tua di hadapannya. Tidak sepatah kata pun dapat diucapkannya. Setidaknya untuk menyatakan terima kasih atas belas kasih orang tua itu terhadap dirinya. Ia lalu bangkit sambil menggaet sandal usang yang celaka itu, lalu diam-diam meninggalkan laki-laki tua yang baik hati, menyingkir jauh-jauh dari dusun mungil terpencil di lembah sunyi yang barangkali akan tetap dikenangnya selama hidupnya.

(Dikutip dari Muhammad Ali. Kumpulan Cerita Pendek Gerhana. Hlm, 90-94)

Comments