Dia Teramat Malang, Karya Asdina Ratnawati

panorama kaki gunung slamet
credit image: kompas.com

Pagi indah sekali di Baturaden. Matahari bersinar cerah menimpa pohon-pohon cemara yang kelihatan hijau berkilat. Puncak Gunung Slamet muncul di atas warna-warna hijau kebiruan alam di sekitarnya. Langit sangat bersih, biru cerah, menjadi latar belakang yang menonjolkan kegagahan gunung itu. 

Keindahan alam pagi itu saya potret dari beberapa sudut. Selesai memotret, saya menoleh berkeliling dan menangkap sesosok tubuh berjalan ke arah saya. Segera saja saya ingin memotretnya.

Cepat-cepat saya bidikkan lensa ke arahnya. Melalui lensa, saya melihat seorang wanita berpakaian sangat sederhana, menggendong sebuah baskom dengan sehelai kain yang sudah pudar warnanya. Tidak terlihat kesegaran dan kecerahan di wajahnya yang tampak masih muda. Ia bahkan tampak tidak peduli, memandang ke depan dengan pandangan kosong. Dua kali saya berhasil memotretnya, tetapi dia tampaknya tidak menyadari apa yang telah saya lakukan.

“Mendoan, Ndoro, masih anget,” katanya sambil mengangkat baskom dari kain gendongannya. Di balik daun pisang penutup baskom itu, kelihatan mendoan, tempe yang digoreng dengan tepung, lembut, dengan aromanya yang gurih menimbulkan selera, khas Purwokerto.

Saya langsung saja mulai menikmati tempe berwarna kehitaman itu sambil berdiam diri. Pada suatu saat, saya merasa wanita itu memperhatikan saya. Saya menengok ke arahnya. Betul saja. Dia menatap saya. “Susi, ya?” katanya sambil menunjuk ke arah saya dengan ibu jarinya.

Saya kaget. Dari mana dia tahu nama kecil saya? Siapa sih, dia? Rasanya saya tidak kenal siapa pun di sini.

“Ayolah, Susi, seharusnya Anda tidak melupakan saya,” sambungnya dengan suara lirih memelas, sambil menundukkan kepalanya.

Saya amati wajahnya dalam-dalam. Saya berusaha mengingat-ingat. Pelan-pelan terasa bahwa saya pernah mengenalnya. Tapi, siapa?

“Anda lupa sama saya. Tari, Untariah,” lanjutnya dengan wajah yang betul-betul menghancurkan perasaan.

Saya tidak dapat berkata-kata. Rasanya seperti ingin menangis. Dia Untariah, teman sekelas saya di SD. Seingat saya dia sangat pintar. Dalam persaingan pelajaran dia selalu dapat mengalahkan saya. Banyak orang yang memuji otaknya yang cemerlang. Tapi, apa yang terjadi dengannya?

Lama kami terdiam. Setelah menekan perasaan kuat-kuat, saya akhirnya memecahkan kesunyian dengan mulai bercerita tentang diri saya, Saya katakan bahwa saya sedang mendaki gunung. Kami serombongan sudah dua hari berkemah di situ, di bumi perkemahan milik PERHUTANI.

“Anda kelihatannya senang, ya?” katanya tiba-tiba memotong cerita saya. “Ada kesempatan meneruskan sekolah, punya banyak teman, punya kesempatan untuk jalan-jalan menikmati hidup.”

“Tapi, saya ... rasanya semua sudah hilang...."

“Anda ingat, ayah saya tukang pos,” lanjutnya, “Ayah meninggal waktu saya kelas dua SMP. Kami harus berjuang keras untuk hidup. Mula-mula, kami jual rumah untuk modal. Kami pindah ke Desa Memutung, di sini. Kami coba membuka warung. Hasilnya pas-pasan, sementara kebutuhan makin besar. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencoba mencari tambahan. Itu baru kira-kira enam bulan setelah ayah meninggal."

Gila, pikir saya. Ini benar-benar kenyataan yang sangat buruk yang tidak pernah saya bayangkan akan dapat terjadi.

“Sulit sekali bagi saya mencari pekerjaan karena saya tidak mempunyai ijazah apa-apa. Saya pernah menjadi pelayan restoran di Purwokerto. Tapi, ongkos pulang pergi ke sana terlalu besar. Saya terpaksa berhenti bekerja dan membantu usaha ibu. Tapi, tidak banyak hasilnya. Saya berusaha keras keluar dari kesulitan itu. Dan inilah akhirnya,” katanya sambil menggerakkan kepalanya ke arah baskom mendoan.
 
“Adik-adikmu bagaimana?” tanya saya sesudah terdiam beberapa saat.

“Alhamdulillah, sampai sekarang mereka masih bersekolah, tapi mereka juga ikut mencari tambahan, mengumpulkan daun cengkeh yang gugur di sekitar sini."

“Ini hari Sabtu,” tiba-tiba Tari memecah kesunyian, “nanti, sebentar lagi pasti banyak Orang yang datang ke Taman Ria. Mudah-mudahan saja saya banyak duit,” sambungnya mencoba berseloroh. 

Dia membereskan baskomnya kemudian bersiap pergi. “Saya harus pergi, Susi. Sampai ketemu lagi,” katanya.

“Hei, tunggu, Tari. Saya belum bayar,” kata saya sambil menyerahkan semua uang yang ada di saku saya.

Matahari bersinar terik ketika saya kembali ke kemah. Hawa dingin terasa segar di badan. Puncak Gunung Slamet mulai menghilang tertutup kabut. Alam Baturaden memang indah, tapi nasib Utariah masih membayangi perasaan saya.

(Asdina Ratnawati dalam Menulis secara Populer, dengan pengubahan)

Comments